“Jilbab” menurut KBBI adalah kerudung lebar yang dipakai wanita muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai dada. Belakangan ini saya tertarik mengangkat soal “jilbab” atau lebih tepatnya “batasan aurat perempuan dalam Islam” karena saya melihat banyak sikap masyarakat yang tidak toleran terhadap pilihan orang lain yang berbeda.
Sekian waktu lalu, ramai dibahas di media sosial tentang ahli tafsir Prof. Quraish Shihab dituding sesat karena memaparkan berbagai pandangan ulama soal jilbab, termasuk tafsir jilbab tidak wajib. Yang meyakini tidak wajib pun dituding sesat. Saya berasumsi sikap intoleran ini berakar dari sikap meyakini satu tafsir yang tidak dibarengi dengan pemahaman bahwa hukum jilbab itu tidak hanya satu. Sehingga ketika mendapati seorang muslim yang meyakini jilbab tidak wajib, mereka merasa perlu meluruskan dengan cara memaksakan keyakinan agar orang lain meyakini persis seperti yang mereka yakini.
Tafsir soal jilbab sangat luas. Hukum jilbab merupakan masalah khilafiah (didebatkan) ulama. Ada ulama yang menafsir aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali mata (cadar itu wajib), ada yang menafsir aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan (jilbab itu wajib), ada yang menafsir jilbab itu sifatnya anjuran bukan keharusan, hingga tafsir yang paling ringan–berpakaian sopan dan boleh tak berjilbab. Di sini tidak akan dibahas dasar dalil masing-masing hukum karena itu bisa diakses lewat internet atau buku.
Sebagian besar masyarakat kita selama ini hanya tahu tafsir jilbab itu satu, yaitu wajib. Jadi, ketika menemukan pandangan lain yang berbeda, dianggap menyimpang. Mengenai tafsir jilbab itu tidak wajib, bukanlah hal baru. Santri-santri putri NU tahun 60-90an, bahkan beberapa sampai sekarang hanya memakai kerudung seperti opsi 2, kelihatan leher dan rambut. Mereka memilih demikian bukan karena kurang ilmu. Dibandingkan orang awam pada umumnya, mereka lebih menguasai ilmu nahwu shorof untuk membaca berbagai tafsir. Ini bukan soal NU atau bukan, saya menyebut NU karena untuk mencontohkan bahwa tafsir jilbab tidak wajib itu bukan hal baru, seperti yang dikenakan wanita-wanita NU. Perbedaan pilihan ini mustinya bisa didialogkan sehingga tidak lagi muncul tudingan sesat pada ulama/orang lain yang berbeda. Untuk menjaga kebhinekaan ini secara damai, pentingnya sikap toleran terhadap pilihan keyakinan orang lain yang berbeda dengan yang kita yakini. Seseorang memilih berjilbab ataupun tidak, itu hak yang tidak boleh dipaksakan.
Pada 12 Agustus 2014, saya posting gambar tersebut di Facebook, untuk mengetahui alasan para muslimah memilih ekspresi pakaian mereka. Cukup ramai diskusinya. Saya menyimpulkan ada 3 sikap responden:
1. Mereka yang memaksakan keyakinan bahwa semua muslimah harus meyakini jilbab wajib, jika tidak berarti sesat.
2. Mereka yang merespon bahwa meyakini wajib dengan tetap menghargai pilihan tafsir lain.
3. Mereka yang fleksibel, kadang memakai pakaian opsi no.2, kadang 3, atau kadang 4. Artinya, tidak selalu opsi tertentu.
Kalau saya amati sejumlah teman yang lebih fleksibel itu dari lingkungan pesantren, yang terlatih memahami berbagai tafsir, lebih bijaksana mengungkapkan ekspresi pilihan.
Saya pikir ini penting diangkat dan didiskusikan. Soal hukum jilbab ini biasanya memang agak sensitif ketika mengangkat tafsir yang tidak wajib. Dari diskusi panjang tersebut sebenarnya bukan untuk disimpulkan agar muslimah berbondong-bondong tidak pakai jilbab ataupun agar pakai jilbab, melainkan agar saling menghargai pilihan keyakinan orang lain yang berbeda.
Nur Laeliyatul Masruroh
29 November 2014