Monthly Archives: August 2016

Hidup ini Piknik, Selamanya Piknik

foto 1.jpg“Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi”. Kali pertama membaca judulnya, saya berpikir, apa ini nggak terbalik? Yang fana bukankah kita? Sedangkan yang abadi bukankah waktu? Kita dalam pengertian saya-dan-Anda-sebagai-raga adalah fana. Raga ini hanya sementara, kita dulu pernah tiada dan nanti akan mati. Sedangkan waktu tidak diketahui awal dan akhirnya, dia abadi.

Atau judul itu satire? Saya nggak tahu pasti. Sebagai penonton yang tidak terlibat dalam proses pembuatan karya ini, tafsiran saya bisa berbeda dengan yang sejatinya ingin disampaikan sutradara dan pemainnya. Namun, menafsir karya seni tidak berlaku salah dan benar, tidak memiliki alat ukur dengan variabel tetap yang tidak bergerak. Jadi, inilah tafsir saya atas karya ini.

“Teater tubuhnya berhenti dulu, ini realis,” ucap salah satu pemain di tengah pertunjukan. Selama ini Teater Garasi memang dikenal sering menampilkan pertunjukan gaya akting nonrealis. Orang-orang menyebutnya teater tubuh. Pertunjukan kali ini campuran realis dan nonrealis. Buat saya, akting gaya realis bisa membantu memahami dengan lebih jelas isi cerita, yang kemudian menjadi bekal untuk menafsir beragam kosa gerak nonrealis.

Pertunjukan ini tentang sebuah keluarga, ibu, bapak, dan tiga anak dengan segala hasratnya. Rosna jadi TKW di Hongkong, hamil entah dengan siapa, dan saat kembali ingin jadi artis sinetron. Rasid (MN Qomaruddin) jual sawah untuk jihad ke Arab, kata ibu (Erythrina Baskoro). “Afganistan!” Rasid mengoreksi. Bagi ibu, Afganistan sama saja, Arab. Anak ketiga adalah Husain, suka adzan, suaranya jelek, dan sedeng. Si bapak seorang penembak burung dan si ibu menderita karena berbagai ulah keluarganya. Lebaran adalah satu peristiwa yang mempertemukan kehangatan mereka dalam satu meja. Saling cerita dan mendengarkan keluhan. Termasuk keluhan Rosna yang memberitahu rendang di meja dimakan kucing.

Ini satu potret keluarga hari ini. Sosok-sosok dengan caranya sendiri-sendiri ingin menuntaskan hasrat-hasrat tersembunyi. “PKI fuck, PKI fuck!” Rasid benci PKI dan benci Haji Ahmad. Haji Ahmad disebutkan sebagai pengagum Gus Dur, tokoh agama setempat yang memberikan nama untuk si Husain. Rasid seolah mewakili kebanyakan mereka yang berhasrat jihad dengan kekerasan, memimpikan khilafah, ingin mati syahid dalam pertempuran di Timur Tengah, dan tidak sejalan dengan pengikut Gus Dur yang mengusung penghormatan pada pluralitas.

Cerita ini juga memotret jalanan ibukota ketika Rosna ingin mewujudkan cita-citanya sebagai artis sinetron. “Jakarta adalah tempat bertemunya cewek urban dan cowok urban,” ucap sopir angkot. Gerrr. Tawa penontoh pecah. Sejumlah aktor memainkan lebih dari satu karakter. SepertiGunawan Maryanto memainkan sebagai bapak di dalam potret keluarga dan sebagai sopir angkot dalam potret kisah lain. Di sisi lain, satu karakter dimainkan oleh lebih dari satu aktor. Contohnya, karakter Rosna diperankan oleh dua aktor, Rosna yang menjalani hidupnya oleh Arsita Iswardhani dan Rosna dalam kisah “Petualangan Rosna” oleh Sri Qadariatin. Sopir angkot yang menonton kisah Rosna, mengapresiasinya dengan mengaitkan romantisme masa lalu. Mengingatkan tentang ibunya yang mengagumi Sri Devi dan neneknya yang PKI. “Blablabla…bagus Banget. Mungkin neneknya PKI juga,” komentar sopir. Tawa penonton memecahkan keheningan lagi.

Menariknya pertunjukan ini adalah mengajak penonton berpikir, menafsir, dan tak lupa menghibur. Sekian kali kita dibuat tertawa, setelah jidat mengkerut bertanya-tanya ini maksudnya apa.

Bagaimana kalau hasrat-hasrat itu hanyalah kegilaan di alam pikiran? Hal-hal yang mencekam dan menghibur itu barangkali hanya ada dalam pikiran si sedeng, Husain. “Anak saya Rosna tidak hamil, menikah dengan teman kerjanya di Hongkong,” jelas ibu menjelang akhir cerita. Rasid tidak jual tanah, tapi belajar ke Afganistan. Husain suka adzan, suaranya bagus, tidak gila. “Rendangnya tidak dimakan kucing,” jerit Rosna. Kehangatan di meja makan itu tidak lagi ada. Sosok-sosok itu menjadi beku, menyimak monolog Husain yang mengaku tidak sekolah tapi bisa sampai ke bulan. Benar kata mereka, hidup ini piknik, selamanya piknik.

Kehidupan dengan segala hasratnya adalah menghangatkan. Kehangatan itu tidak selamanya, waktunya terbatas, fana. Sedangkan kita sebagai kisah akan abadi.

Karya pertunjukan ini dipentaskan di FIB, Universitas Indonesia, 26 Juli 2016 dan di Goethe-Institute Jakarta, 30-31 Juli 2016. Sutradara Yudi Ahmad Tajudin.

Nur Laeliyatul Masruroh
Depok, 31 Juli 2016.

Leave a comment

Filed under Conservation, Theatre